JAKARTA - Tidak bisa dipungkiri bahwa pengacara adalah profesi yang dianggap jadi jaminan untuk dapat bergelimang materi dan kemewahan.
Anak-anak muda berbondong masuk fakultas hukum dan bermimpi jadi pengacara beken. Tapi, apakah setelah menjadi pengacara mereka bisa bahagia? Tunggu dulu.
Pengacara ternyata merupakan orang-orang yang paling tidak sehat dan paling tidak bahagia. Pengacara menderita depresi, kecemasan, permusuhan, paranoid, terasing dan terisolasi secara sosial, mengalami sindrom obsessive-compulsive dan sindrom interpersonal sensitivity dalam kadar yang mengkhawatirkan.
Riset yang dilakukan oleh Notre Dame University bersama John Hopkins University menunjukkan bahwa secara statistik, ada tiga profesi dari 104 profesi yang paling tinggi menderita Major Depresive Disorder (MDD). Mereka adalah pengacara, guru prasekolah, guru pendidikan khusus, serta sekretaris. Pengacara berada dalam urutan teratas, dan menderita MDD 3,6 kali lebih tinggi dari yang bukan pengacara.
Pengacara juga menderita kecanduan alkohol dan menggunakan obat-obatan terlarang dalam tingkat yang jauh lebih tinggi dari profesi lain. Sebuah grup peneliti menemukan bahwa jumlah pencandu alkohol di antara pengacara dua kali lipat dari rata-rata kecanduan alkohol di antara orang dewasa.
Sementara grup peneliti lain memperkirakan, 26% pengacara menggunakan kokain setidaknya satu sampai dua kali dari rata-rata populasi. Satu dari tiga pengacara menderita depresi klinis, kecanduan alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan.
Tidak mengherankan, penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa pengacara melakukan bunuh diri atau berpikir untuk melakukan bunuh diri jauh lebih sering dari nonpengacara. Para pengacara ini memilih akhir hidupnya dengan bunuh diri karena tidak tahan menghadapi stres.
Pengacara banyak bercerai!
Kabar buruk lain, angka perceraian di kalangan pengacara terlihat lebih tinggi dari angka perceraian di antara profesional lain. Felicia Baker LeClere dari Pusat Kajian Contemporary Society di Notre Dame University membandingkan terjadinya perceraian pada pengacara dengan perceraian di kalangan dokter.
Penelitian perceraian itu menggunakan data dari sensus tahun 1990. LeClere menemukan bahwa persentase pengacara yang bercerai lebih besar daripada dokter yang bercerai. Uniknya lagi, perbedaan itu secara jelas terlihat pada perempuan. Ternyata, lebih banyak pengacara perempuan yang perkimpoiannya kandas di tengah jalan.
Orang-orang yang tidak sehat ini--yaitu mereka yang menderita depresi, kecemasan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat-obatan, perceraian, dan bunuh diri--hampir dapat didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak bahagia. Sumber dari ketidakbahagiaan mereka ternyata adalah satu hal yang menjadi kesaman mereka, yaitu pekerjaan mereka sebagai pengacara.
Secara umum, para pengacara menyatakan bahwa mereka tidak bahagia dengan karier mereka. Mereka tidak akan menjadi pengacara lagi jika memiliki kesempatan kedua. Mereka juga tidak akan menyarankan anak mereka atau orang lain untuk menjadi pengacara. Dan, mereka berharap dapat berhenti berpraktek hukum sebelum akhir karier mereka.
Menurut mereka, walaupun pasar untuk jasa hukum telah meningkat selama beberapa tahun terakhir, moral pengacara telah mengalami penurunan, terutama pada pengacara hukum privat.
Mengapa pengacara tidak sehat dan tidak bahagia?
Banyak alasan yang dikemukakan oleh pengacara. Mereka mengeluhkan terjadinya komersialisasi dalam profesi hukum, bagaimana praktek hukum telah menjadi sekadar bisnis ketimbang sebuah profesi. Mereka mengeluhkan bertambahnya tekanan untuk mendapat dan mempertahankan klien dalam persaingan pasar yang ganas.
Para pengacara itu mengeluhkan harus bekerja dalam lingkungan yang penuh permusuhan. Mereka mengeluhkan betapa mereka tidak mempunyai kontrol atas kehidupan mereka, dan hanya bergantung pada belas kasihan hakim dan klien.
Mereka juga mengeluhkan tentang kurangnya kesopanan di antara pengacara. Selain itu, kurangnya kesetiakawanan dan loyalitas di antara partner mereka. Mereka juga mengeluhkan buruknya persepsi publik terhadap profesi mereka. Namun, sebagian besar mengeluh mengenai jam kerja.
Keluhan mengenai jam kerja memang bukan sesuatu yang baru. Bahkan menurut American Bar Association, pengacara sudah mengeluh dengan keras betapa mereka merasa hidup untuk bekerja ketimbang bekerja untuk hidup. Betapa mereka diminta bukan untuk sekadar berdedikasi pada pekerjaan, melainkan mengorbankan hidup mereka untuk kantor.
Namun jika melihat jadwal kerja mereka yang "brutal", pengacara memang mempunyai alasan untuk mengeluh dan merasa yakin bahwa masalah itu semakin lama semakin memburuk, bukan membaik. Tigapuluh tahun lalu, sebagian besar partner mencatatkan 1.200 sampai 1.400 jam kerja per tahun, dan sebgaian besar associate antara 1.400 sampai 1.600 jam.
Saat ini, lebih dari setengah associate dan hampir seperempat partner di sektor hukum privat mencatatkan sedikitnya 2.000 jam per tahun. Di firma hukum yang besar dan prestisius, hampir semua orang mencatatkan jam kerja mendekati 2.000 jam. Bahkan, beberapa di antaranya mencatatkan 2.500 jam atau lebih.
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa yang membuat seseorang bahagia adalah nature dari pekerjaan yang mereka lakukan dan kualitas hidup mereka di luar pekerjaan. Setiap jam yang mereka habiskan di meja kerjanya adalah jam yang tidak mereka habiskan untuk melakukan hal yang memberikan kegembiraan dan arti bagi hidup mereka.
Para pengacara telah kehilangan kegembiraan, seperti menghabiskan waktu bersama pasangan, bermain dengan anak-anak, bersantai dengan teman, mengunjungi orang tua, menonton film, membaca buku, melakukan kegiatan sosial, beribadah, berolahraga, bepergian, dan lain-lain.
Rupanya, penghasilan besar, rumah mentereng, dan koleksi mobil mewah--buah dari kerja 'gila-gilaan'--tidak membuat para pengacara bahagia. Apalah arti semua kekayaan itu kalau hati merana dan stres berkepanjangan.
https://m.hukumonline.com/berita/bac...hagia?page=all
0 Komentar