KIM Primadona - Sejarah Lombok Purbakala, terlebih lagi Lombok Prasejarah belum terlacak dan tercatat dengan baik, tidak setua sejarah di pulau Jawa yang mencatat sejarah Mataram Kuno (Kediri, Kuripan, Singasari, Majapahit dan kesultanan Mataram). Catatan yang lebih berarti di muali dari zaman Majapahit yang menjadikan Lombok sebagai salah satu sasaran Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada yang disebutnya Tanah Sela, Sasak Adi, Sasak Mirah.
Asal muasal sebutan Lombok berikut penduduk aslinya yang disebut Suku Sasak itupun masih terdapat berbagai versi. Ada yang berpendapat, Sasak berasal dari proses kedatangan awal manusia yang menjadi cikal bakal Suku Sasak dengan rakit yang disebut Saksak. Ada juga pendapat berasal dari gambaran keadaan pulau Lombok yang ketika itu yang merupakan hutan belantara terutama bambu yang sangat rapat dan sesak. Keberadaan hutan bambu ini, memang masih digambarkan oleh Robert Wallace dalam petualangannya yang juga melalui Lombok pada pertengahan abad XIX. Sedangkan nama Lombok, ada pendapat yang mengambil dari bahasa Sasak yang berarti lurus sesuai pembawaan umum etnisnya yang polos meskipun terkesan terlalu dicari-cari.
Menurut pendapat penulis sendiri, khusunya untuk sebutan pulau Lombok berasal dari nama kerajaan awal yang menonjol disekitar pulau Lombok waktu itu, yakni di Kayangan. Adalah umum di masa lalu, di luar daerah lebih mengenal pelabuhan utamanya. Belakangan, setelah Ampenan menjadi pelabuhan utama di zaman Belanda, di luar daerah lebih dikenal beras Ampenan, tembakau Ampenan, dan seterusnya. Sampai decade 60-an, orang Jawa pedalaman, lebih mengenal Ampenan dari pada Lombok yang diidentikkan dengan Bali, seperti halnya di zaman itu orang mancanegara lebih mengenal Bali dari pada Indonesia.
Lombok di Zaman Majapahit.
Sejarah Lombok yang utuh sampai berakhirnya adad XX belum terseusun sampai tingkat yang pantas sebagai muatan lokal bagi generasi penerus dalam mengenal sejarah daerahnya. Kanwil Depkidbud Provinsi NTB, baru sampai pada tingkat inventarisisasi, belum sampai pada tingkat penyusunan sejarah yang utuh. Sejarah Lombok memang lebih merupakan kisah sedih yang porak—poranda, beralih dari pengaruh kerajaan besar yang satu kepada yang lainnya dan di sana–sini mengandung hal yang dianggap peka untuk diungkapkan, sehingga tertutup kabut dan misteri. Menurut penulis sudah waktunya untuk diungkap secara apa adanya dengan ilmiah dan obyektif.
Sejarah Lombok di zaman Majapahit pun masih merupakan bahan yang lepas-lepas. Bahan utamanya dari babad-babad haruslah pandai-pandai dalam menyaringnya sehingga mempunyai nilai sejarah sebagaimana umumnya. Babad banyak diwarnai legenda dan dongeng, beruntunglah penulis mempunyai catatan silsilah Raja-raja Lombok yang cukup lengkap dari zaman Majapahit abad XIV. Silsilah yang ada selama ini cendrung disembunyikan sesuai kebiasaan penyimpanan pusaka yang dianggap sacral di zamannya. Dengan demikian, catatan silsilah ini belum pernah dipakai sebagai acuan oleh pada ahli. Baru sekarang ini, penulis sendiri yang memasyarakatkannya karena sudah tidak zamannya lagi untuk tetap merahasiakannya. Sebagai bahan masukan, minimal sebagai perbandingan. Sesuai adat dalam menjaga kemurnian ‘’darah biru’’ catatan hanya menyangkut garis turunan laki-laki saja. Kecuali keturunan perempuan yang mencatat sejarahnya sendiri. Selanjutnya catatan hanya menyebutkan gelar kebesaran saja, sedikit catatan dan cerita turun-temurun yang menyebutkan nama asli. Hal ini sesuai pula dengan kebiasaan di Lombok khusunya, akan tetapi merupakan kebiasaan juga diseluruh Indonesia pada umumnya.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Yogyakarta oleh rakyatnya hanya berani disebut dengan panggilan hidmat, ‘’Ingkung Sinuhun’’. Sedikit sekali yang menghantui nama aslinya ‘’Darajatun’’.
Demikian pula halnya dengan Tuan Guru HM Zainuddin AM, ulama Lombok yang terkenal. Para santrinya dengan penuh hormat menyebut ‘’Maulana Syaich’’. Sedangkan masyarakat lainnya menyebut Tuan Guru Pancor, demikian pula halnya dengan Tuan Guru Ilang Sabil (Haji Ali Batu), Datu Muter, Datu Polak, Datu Tuan, Datu Regak dan sebagainya. Dalam kehidupan modern pun orang merasa lebih santun menyebutkan Bapak Presiden, Bapak Menteri, Bapak Gubenur dari pada menyebutkan nama.
Silsilah tersebut, aslinya sampai dengan generasi ke-X, ditulis di atas lempengan tembaga, sedangkan catatan selanjutnya ditulis di atas lembaran lontar. Disimpan sebagai pusaka sakral antara lain bersamaan dengan babad Kotaragama dan lain-lain yang hanya dapat dikeluarkan setelah melalui berbagai upacara ritual. Babad Kotaragama dibawa oleh Mr. Koesnoe pada tahun 1960 ke Leiden. Akan tetapi tidak terlalu jelas bagaimana prosesnya, belakangan ada babad Kotaragama yang dikembalikan kepada Pemda Tingkat I NTB yang ada di Musium NTB sekarang ternyata ada sedikit perbedaan dilihat dari diskripsinya. Sedangkan silsilah tersebut, setelah berusaha dilacak sudah tak tentu rimbanya. Beruntunglah pada dekade 40-an telah diturunkan dalam bentuk bagan yang lebih modern di bawah bimbingan Belanda.
Catatan silsilah tersebut dimulai dari Deneq Ma Pangeran sebagai generasi pertama. Siapa Mas Pangeran terdapat berbagai versi; versi pertama : sesuai sebutannya, adalah merupakan salah seorang Pangeran Majapahit, anggota ekspedisi pendahuluan Mpu Nala atau anggota rombongan inspeksi Gajah Mada yang datang kemudian. Mr. Koesnoe menyebut nama Pangeran Untara.
Versi kedua; Mas Pangeran sendiri adalah Mpu Nala sendiri, sesuai pola pengamanan daerah taklukan ketika itu yang umum dilakukan dengan perkawinan politik. Terbukti dari pengambilan nama Nala versi Gelgel. Kelungkung- Bali menyebutkan penguasa yang ditempatkan semula diganti oleh Gajah Mada dengan dua orang turunan Dharmawangsa kerajaan Kediri dari Desa Pakis yang akhirnya menurunkan dinasti Kepakisan Bali.
Apa hubungannya dengan tiga saudara di atas? Belum jelas. Yang jelas adalah bahwa dalam rangka pelaksanaan Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara di bawah bendera kerajaan Majapahit. Pada waktu itu yang dikirimkan kearah Timur adalah ekspedidi di bawah pimpinan Mpu Nala kurang lebih tahun 1343 M (termasuk ke Lombok). Disusul dengan inspeksi oleh Gajah Mada sekitar 10 tahun kemudian atau pada tahun 1353 yang menabelkan Lombok sebagai bagian dari Majapahit.
Dengan demikian, maka resmilah Lombok berada di bawah pengaruh Majapahit yang disebut Selapawis. Klungkung dengan kerajaan Gelgel mencatat sejarah yang gilang-gemilang meskipun khirnya Bali terpecah-belah dikapling menjadi belasan kerajaan. Belakangan, Karang Asem-lah yang paling berkibar menggeser posisi Klungkung.
Betara Mas Kerta Jala di Sulawesi, karena hubungan yang sulit tak tercatat kelanjutannya.
Batara Mas Tunggul Nalalah yang tinggal di Lombok, yang kemudian nantinya menurunkan raja-raja yang ada di Lombok. Beliau tercatat memiliki dua orang putra. Putra bungsu bernama Deneq Mas Muncul, tinggal dan menetap di Bayan yang kemudian memiliki keturunan Deneq Mas Karobela, dan Deneq Mas Laki Singgia. Meskipun sempat berkembang menjadi kelompok keluarga kerajaan Bayan, Gangga, dan Sokong. Karena lebih eksis kakaknya, tidak tercatat aktifitas pemerintahan yang dinamis. Kakaknyalah, Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon Rembitan yang berhasil menegakkan eksistensinya mendirikan kerajaan Lombok yang berpusat di Kayangan pesisir pantai Timur pulau Lombok. Yang kelak menurunkan raja-raja Selaparang dan Pejanggik, berikut kelompok-kelompok keluarga dibagian Selatan pulau Lombok meskipun yang terakhir ini tidak tercatat dengan baik.
Moksanya orang kuat sang pemersatu Mahapatih Gajah Mada mulai menimbulkan berbagai intrik dilingkungan Keraton Majapahit disertai mulai masuknya pengaruh islam yang menyebakan kecemerlangan Kerajaan Majapahit mulai pudar sampai akhirnya hilang sirna kertaning bumi. Tidak sampai berakhir abad XV, kesempatan mulai melemahnya Majapahit dicoba dimanfaatkan oleh Belambangan yang melepaskan diri dan mengklaim wilayah Timur Indonesia, akan tetapi cengkramanya waktu itu masih sangat lemah bahkan belakangan, ganti Gelgel yang mengklaim wilayah Timur dari Pugar Lumajang, Pasuruan, Bali, Lombok, Sumbawa, bahkan sampai Manggarai (Flores). Merasa satu rumpun dengan cikal bakal dari Majapahit, kerajaan Lombok tetap merasa satu-kesatuan dan kesetiaan yang utuh terhadap kerajaan Majapahit. Oleh karena itu kerajaan Lombok tidak mengakui Belambangan maupun Gelgel yang berdiri sendiri. Ruh Majapahit sangat menjiwai dan mewarnai budaya Sasak – Lombok sampai dengan saat ini. Bahasa yang ditulis dalam lontar-lontar adalah bahasa pewayangan, bahkan bahasa dalam upacara adat masih menggunakan bahasa Jawa yang sudah bercampur dengan bahasa Sasak, Bali yang disesuaikan dengan logat Sasak. Aksara Sasak – pun berakar dari bahasa Jawa yang sudah disesuaikan dengan logat Sasak tanpa (Dha) dan (Tha), sehingga tinggal 18 huruf dasar dan terkadang masih disebut huruf Jejawan. Terdapat berbagai tempat yang sama atau berbau Jawa seperti Kediri, Kuripan, Surabaya, Wanasaba, bahkan Ibu Kotanya bernama Mataram, nama kerajaan dulu di Jawa. Pembawaan sikap budayanyapun dalam banyak hal antara lain pembawaan yang tidak ekspresif cukup deket dengan sikap dan budaya Jawa. (Hamdi - KIM Primadona )
Refrensi: Kris Lombok karya H.Djelenge
0 Komentar