Sebagai dalang wayang kulit, nama Lalu Nasip sangat dikenal di pulau Lombok, dan NTB pada umumnya. Mulai dari pedesaan di pelosok Lombok Timur, hingga di keramaian Kota Mataram, Lalu Nasip bukan nama yang asing bagi masyarakat termasuk sopir taksi dan pengojek. Itu juga yang membuat sangat mudah menemukan kediamannya di Dusun Perigi, Desa Gerung Selatan, Kecamatan Gerung, Lombok Barat.
”Semua orang pasti tahu mamiq Lalu Nasip (Mamiq dalam bahasa Sasak; sebutan untuk pria yang dihormati atau dituakan). Kalau gubernur atau bupati belum tentu semua kenal namanya,” kata Rasinah Majid, seorang tourist guide yang biasa mempromosikan budaya Lombok.
Selain sebagai dalang pertama di Lombok yang menggagas gubahan bahasa wayang dari bahasa Jawa Kawi ke bahasa Sasak Lombok dan Indonesia, Lalu Nasip juga mendapat tempat di hati masyarakat karena humor-humor khasnya lewat tokoh-tokoh lucu dalam wayang.Karakter suara Lalu Nasip berat dan agak serak, tawanya lepas dan lantang. Ia masih nampak fit di usia 63 tahun, walau kerap begadang.Menurut Nasip, wayang kulit Sasak Lombok menjadi satu dari tiga kesenian wayang kulit di Indonesia, selain wayang kulit Jawa dan Bali.
Kisah utama atau pakem yang dipentaskan dalam wayang kulit Sasak ialah ”Srat Menak”, saduran dari hikayat Amir Hamzah cerita dari negeri Persia yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa Kawi oleh Yosodipuro II di zaman Kerajaan Mataram Islam. Kisahnya seputar perjalanan Nabi Muhammad SAW menyiarkan agama Islam pada masanya dahulu.Di Jawa, kisah Srat Menak sudah jarang dipentaskan, yang sering adalah Ramayana dan Mahabarata. Sementara di Bali, hanya Ramayana dan Mahabarata yang selalu dipentaskan.
Sepengetahuan Lalu Nasib, kesenian wayang kulit masuk ke Lombok pada abad 17-18 silam. Awalnya dibawa oleh murid Sunan Kali Jaga sebagai media dakwah Islam di pulau Lombok bagian Utara.Nasip mulai tertarik dengan wayang sejak kecil. Saat kelas 5 Sekolah Rakyat (SR) di Lombok Barat tahun 1957, ia mulai mendalang kecil-kecilan bersama teman sebaya. Namun, karena orangtuanya kurang setuju jika Nasip menjadi dalang, kemudian
lulus SR Nasip dipindahkan sekolah ke Sekolah Pelayaran Ampenan.”Tujuannya agar saya jauh dari dunia wayang, tapi di sekolah palayaran itu saya malah bertemu teman sekelas yang anak dalang dari Yogyakarta. Wah, ilmu mendalang saya malah bertambah, saling tukar tanya dengan anak dalang itu,” katanya mengenang.
Setelah lulus sekolah, tahun 1969 Lalu Nasip kembali menekuni wayang kulit. Bersama teman-teman sekampungnya yang punya hobby sama, Nasip pun mulai berani pentas. Ia mendalang, sementara 10 rekannya membantu sebagai pemain musik iringan. Awalnya ini berat. Sebab, yang menonton wayang kulit hanya para orangtua yang mengerti bahasa Jawa Kawi.
”Saat itu saya jadi bertanya-tanya, kenapa hanya orang tua yang suka. Anak muda nggak ada yang nonton. Selidik-selidik ternyata masalahnya di bahasa. Anak-anak muda banyak yang tidak mengerti bahasa Jawa Kawi dalam wayang. Sejak itu, saya mulai mengubah bahasanya, saya sisipi bahasa Sasak dan bahasa Indonesia setiap kali pentas,” katanya.
Diluar dugaannya, Wayang Kulit Sasak ”Gema Rinjani” yang didalanginya langsung mendapat tempat di hati masyarakat, termasuk kawula muda.”Srat Menak” adalah pakem wayang kulit yang dipentaskan Lalu Nasip. Tapi, selain pakem wayang itu, ada juga sejumlah Kekawian atau Carangan hasil karya pujangga-pujangga Lombok. Ini semacam kisah-kisah lokal yang ditulis dengan lontar-lontar zaman dulu. Di sinilah Lalu Nasib bisa berekspresi melalui empat tokoh punakawan (Tokoh lucu wayang, seperti Bagong, Gareng dan Petruk dalam wayang Jawa). Empat tokoh punakawan Wayang Sasak yang selalu berhasil menghibur adalah Amaq Ocong, Amaq Amet, Amaq Baok, dan Inaq Itet.
Melalui empat tokoh itu pula, pagelaran wayang Lalu Nasip biasa digunakan sebagai sarana sosialisasi program pemeritahan. Mulai dari program Keluarga Berencana (KB) hingga masalah TKI.”Dulu tahun 1990-an KB itu sulit sekali masuk ke Desa Mamben Lombok Timur, terus saya pentas disana dan mulai sosialisasi lewat wayang. Ya saya gambarkan sederhana saja, misalnya Amaq Ocong punya 12 anak dan Amaq Baok punya 2, eh yang sukses justru yang sedikit anaknya. Ini efektif, karena masyarakat saat itu masih berpikir banyak anak banyak rejeki,” katanya.Kritik dan pesan moral juga bisa bebas disampaikan lewat tokoh punakawan ini. Menurut Nasip ia bisa mengkritik pemerintah atau oknum pejabat yang kurang baik kinerjanya.
Sepengetahuan Lalu Nasib, kesenian wayang kulit masuk ke Lombok pada abad 17-18 silam. Awalnya dibawa oleh murid Sunan Kali Jaga sebagai media dakwah Islam di pulau Lombok bagian Utara.Nasip mulai tertarik dengan wayang sejak kecil. Saat kelas 5 Sekolah Rakyat (SR) di Lombok Barat tahun 1957, ia mulai mendalang kecil-kecilan bersama teman sebaya. Namun, karena orangtuanya kurang setuju jika Nasip menjadi dalang, kemudian
lulus SR Nasip dipindahkan sekolah ke Sekolah Pelayaran Ampenan.”Tujuannya agar saya jauh dari dunia wayang, tapi di sekolah palayaran itu saya malah bertemu teman sekelas yang anak dalang dari Yogyakarta. Wah, ilmu mendalang saya malah bertambah, saling tukar tanya dengan anak dalang itu,” katanya mengenang.
Setelah lulus sekolah, tahun 1969 Lalu Nasip kembali menekuni wayang kulit. Bersama teman-teman sekampungnya yang punya hobby sama, Nasip pun mulai berani pentas. Ia mendalang, sementara 10 rekannya membantu sebagai pemain musik iringan. Awalnya ini berat. Sebab, yang menonton wayang kulit hanya para orangtua yang mengerti bahasa Jawa Kawi.
”Saat itu saya jadi bertanya-tanya, kenapa hanya orang tua yang suka. Anak muda nggak ada yang nonton. Selidik-selidik ternyata masalahnya di bahasa. Anak-anak muda banyak yang tidak mengerti bahasa Jawa Kawi dalam wayang. Sejak itu, saya mulai mengubah bahasanya, saya sisipi bahasa Sasak dan bahasa Indonesia setiap kali pentas,” katanya.
Diluar dugaannya, Wayang Kulit Sasak ”Gema Rinjani” yang didalanginya langsung mendapat tempat di hati masyarakat, termasuk kawula muda.”Srat Menak” adalah pakem wayang kulit yang dipentaskan Lalu Nasip. Tapi, selain pakem wayang itu, ada juga sejumlah Kekawian atau Carangan hasil karya pujangga-pujangga Lombok. Ini semacam kisah-kisah lokal yang ditulis dengan lontar-lontar zaman dulu. Di sinilah Lalu Nasib bisa berekspresi melalui empat tokoh punakawan (Tokoh lucu wayang, seperti Bagong, Gareng dan Petruk dalam wayang Jawa). Empat tokoh punakawan Wayang Sasak yang selalu berhasil menghibur adalah Amaq Ocong, Amaq Amet, Amaq Baok, dan Inaq Itet.
Melalui empat tokoh itu pula, pagelaran wayang Lalu Nasip biasa digunakan sebagai sarana sosialisasi program pemeritahan. Mulai dari program Keluarga Berencana (KB) hingga masalah TKI.”Dulu tahun 1990-an KB itu sulit sekali masuk ke Desa Mamben Lombok Timur, terus saya pentas disana dan mulai sosialisasi lewat wayang. Ya saya gambarkan sederhana saja, misalnya Amaq Ocong punya 12 anak dan Amaq Baok punya 2, eh yang sukses justru yang sedikit anaknya. Ini efektif, karena masyarakat saat itu masih berpikir banyak anak banyak rejeki,” katanya.Kritik dan pesan moral juga bisa bebas disampaikan lewat tokoh punakawan ini. Menurut Nasip ia bisa mengkritik pemerintah atau oknum pejabat yang kurang baik kinerjanya.
Pentas wayang Lalu Nasip selalu dimulai pukul 10 malam, dan biasanya berakhir hingga menjelang subuh. Selalu saja keramaian tercipta dan banyak juga yang mendapat rejeki, misalnya pedagang bakso, PKL, hingga pedagang mainan anak-anak yang membuka dagangannya di dekat lokasi pentas wayang.
Kepiawaian Lalu Nasib mendalang dan kegigihannya melestarikan wayang Sasak membuat ia menerima sejumlah penghargaan. Yang paling berkesan adalah hadiah dari Bina Graha di zaman presiden Suharto tahun 1981 silam
0 Komentar