Ticker

6/recent/ticker-posts

Advertisement

Responsive Advertisement

Musmuliadi, Guru ”OEMAR BAKRI” Dari Bayan

 

 

SOSOK GURU SEDERHANA, MENGABDI TANPA PAMRIH SEPERTI LAGU IWAN FALS “OEMAR BAKRI” BISA DILEKATKAN PADA SOSOK MUSMULIADI, 29 TAHUN. GURU BERSTATUS SUKARELA INI MENGAJAR DI SD FILIAL SEMOKAN RUAK, DESA SUKADANA, KECAMATAN BAYAN, KABUPATEN LOMBOK UTARA. TAK HANYA MENGAJAR, LELAKI YANG HANYA MEMEGANG IJAZAH SMA INI ADALAH PELOPOR SEKOLAH ITU, BERSAMA SAHABATNYA, SANG KEPALA KAMPUNG, NULIANGSI. BERKAT MUSMULIADI, ANAK-ANAK DI SEMOKAN RUAK BISA MENIKMATI PENDIDIKAN.

 

**********

 

Motor Suzuki Shogun itu berasap ketika melintasi sungai kecil yang membatasi Semokan Ruak dengan Semokan induk. Asap itu berasal dari mesin yang terendam air sungai. Sungai yang dasarnya bebatuan itu sempat membuat oleng. Terpaksa Musmuliadi, pengendara motor itu menurunkan kaki. Sepatunya pun basah.

Setelah melewati sungai, Musmuliadi melewati jalan menanjak. Suara mesin motor itu terdengar meraung. Suara mesin meraung beradu dengan suara kepala motor yang penyok. Saya pernah menumpang motor itu, rasanya seakan-akan bodi motor itu akan tercopot.

Di lain waktu, Musmuliadi mengabarkan jika selama seminggu dia terpaksa libur mengajar. Saban hari, air sungai itu meluap. Tidak ada jalan alternatif lain. Motor tidak bisa melewati sungai itu. Tinggi airnya sampai pinggang Musmuliadi, bahkan sering lebih. Musmuliadi juga tidak bisa jalan kaki, air terlalu deras. Jika air sudah mulai surut, Musmuliadi biasanya meninggalkan motor di seberang sungai, lalu jalan kaki ke sekolah yang jaraknya 2 km dari sungai itu. “Masyarakat juga terisolir kalau hujan, tidak bisa ke mana-mana,” kata Musmuliadi.

Jika hari hujan, murid-murid kadang belum datang jam 07.00 Wita. Musmuliadi pun menunggu hingga seluruh muridnya kumpul. Kadang ada yang datang jam 08.00 Wita, ada pula yang tiba di sekolah jam 08.30 Wita. Musmuliadi memaklumi. Seluruh muridnya harus jalan kaki ke sekolah. Kampung terjauh sekitar 2,5 km. Melewati beberapa punggung bukit.

Ketika hujan lebat, Musmuliadi menunggu di berugak milik warga. Dia merasa beruntung bisa mengajar di Semokan Ruak. Masyarakat setempat sangat ramah. Ketika Musmuliadi mengajar, tidak sedikit yang menawarkan kopi atau sekadar makan kue.

Sepulang mengajar, Musmuliadi tidak bisa langsung istirahat. Dia harus berangkat kuliah. Kampus tempatnya kuliah membuka kuliah siang/sore. Ketika ada jadwal kuliah, dia harus segera pulang. Walaupun hujan lebat dan jalan kaki. Bagi Musmuliadi, perjalanan seperti itu sudah biasa dia lakoni.

Musmuliadi mengajar hari Senin sampai Sabtu. Ketika sekolah ini dibuka tahun 2012 lalu, hanya dia sendiri yang mengajar. Jumlah murid 44 orang. Tempat mengajarnya pun bukan ruang kelas, tapi sebuah berugak milik warga. Di awal-awal itu, hanya 2 orang muridnya yang memiliki seragam. Selebihnya mereka mengenakan sarung, baju kaos kumal, tak ada yang memakai sepatu. Bahkan sering, murid mereka ke sekolah sambil menggembala kambing.

”Setelah dua tahun alhamdulillah sudah banyak perubahan. Berkat bantuan para relawan,” kata Musmuliadi.

Musmuliadi (duduk di belakang) bersama siswa siswa awal SD Filial Semokan Ruak

Mengajar ke SD Filial Semokan Ruak memang butuh kesabaran ekstra. Saat awal membuka sekolah ini, November 2012, Musmuliadi mengajar anak-anak di kampung yang tidak pernah mengenal bangku sekolah. Di kampung-kampung bawah kaki gunung itu, hanya satu orang yang pernah sekolah. Namanya Nuliangsi. Hanya dia yang pernah tamat SD. Kini Nuliangsi dipercaya sebagai kepala kampung.

Guru yang lain mungkin akan berpikir berulang kali untuk mau mengajar di SD Filial Semokan Ruak. Perjalanan menuju sekolah tidak mulus. Tantangan alam, lingkungan, dan fasilitas serba minim. Selain itu untuk ukuran guru honorer, gaji yang diterima tidak sebanding dengan pengeluaran. Terlalu kecil untuk disebut. ”Saya tidak berpikir soal gaji mengajar di sini,” kata Musmuliadi.

Musmuliadi hanya memikirkan, anak-anak di Semokan Ruak harus bisa mengenyam pendidikan. Musmuladi, ketika kecil dan remaja juga pernah tinggal di Semokan Ruak di rumah keluarganya. Itulah sebabnya ketika dia bisa kuliah di STKIP Hamzar yang memiliki kampus di Bayan, dia merasa terbebani jika tidak mengamalkan ilmunya. Musmuliadi pun mau mengajar di tempat terpencil yang berjarak sekitar 6 km dari rumahnya.

Setelah dua tahun mengajar, kini Musmuliadi memiliki rekan. Masih berstatus honorer juga. Mereka membagi peran untuk mengajar kelas 1 dan kelas 2. Dalam satu bangunan, kedua kelas itu dipisahkan oleh sekat tripleks, sumbangan para relawan yang dulu membuat program denga nama share for care. “Bantuan para relawan dan donatur mempercepat proses pembangunan sekolah ini,” katanya.

 

Musmuliadi mengajar siswanya di ruangan kelas yang meminjam salah satu rumah warga

Pelopor Pembangunan SD Filial Semokan Ruak

 

Hingga saat ini, hanya ada satu orang warga Semokan Ruak yang memiliki ijazah sekolah dasar (SD). Namanya Nuliangsi, 31 tahun. Dia dipercaya sebagai kepala kampung. Kini, setelah berdiri SD Filial Semokan Ruak, dalam empat tahun ke depan, akan ada warga Semokan Ruak lainnya yang akan memiliki ijazah SD.

Saya adalah saksi mata proses pendirian sekolah itu. Berawal dari sebuah berugak, lalu meminjam sebuah rumah warga. Terakhir sejumlah relawan membantu material dan tanah tempat pembangunan. Barulah pemerintah mulai membangun gedung sekolah permanen. Nama Musmuliadi dan Nuliangsi tidak bisa dilepaskan dari proses itu.

Ada tiga kampung terpencil di Dusun Semokan, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan yaitu Semokan Ruak, Tebeang, dan Teratas. Akses yang jauh dari sekolah induk membuat anak-anak di tempat itu putus sekolah (DO). Mereka lebih memilih menjadi petani, peladang, peternak, mengikuti orang tua mereka.

Ketika dibuka pertama kali November 2012, Musmuliadi dan Nuliangsi “blusukan” ke kampung-kampung kaki gunung itu. Mereka mencari anak yang seumuran anak SD untuk menjadi calon murid. Jika siang hari tidak bertemu dengan orang tua anak itu, mereka mencari malam hari. Musmuliadi akan menaksir usia anak itu.

“Sebagian besar anak-anak itu sebenarnya sudah kelas 4 atau bahkan kelas 6,” kata Musmuliadi.

Tidak heran, jika di SD Filial Semokan Ruak saat ini, murid kelas 2 SD wajahnya seperti anak SMP. Dulu mereka adalah murid-murid yang putus sekolah. Lalu kembali masuk kelas 1. Kini mereka kelas 2 dan akan segera naik ke kelas 3. Mereka juga cukup membantu Musmuladi, mereka tidak buta huruf total ketika baru pertama masuk. Mereka sudah mengenal huruf lantaran pernah SD.

Di awal mengajar, Musmuliadi membimbing mereka mengenal huruf latin. Wartawan koran ini yang datang pada November 2012 mengamati, banyak murid itu tidak mengenal huruf latin sama sekali. Musmuliadi membimbing mereka satu per satu. Belajar di atas berugak, sambil bersila tentu saja melelahkan. Apalagi dengan murid yang penuh.

Ketika pindah ke bangunan darurat, pinjaman rumah warga yang belum dipagar keliling, sebagian anak-anak itu sudah bisa membaca.Musmuliadi juga mengajarkan mereka beberapa lagu nasional dan doa-doa yang biasa dilafalkan sehari-hari. Pada saat itu, para muridnya sudah mulai bisa membaca dan hafal dengan lancar doa-doa itu.

Kisah Musmuliadi, yang mencari murid sendiri, mengajar di atas berugak, dengan honor yang sangat kecil, saat itu Rp 150 ribu/bulan, mendatangkan simpati. PNPM juga membantu seragam sekolah bagi murid-muridnya, PNPM juga membantu bangku dan meja. Selain itu, aneka buku tulis dan buku bacaan mulai berdatangan dari para relawan.

Bantuan terbesar yang diterima sekolah itu ketika sekelompok anak muda menyatakan akan membantu material bangunan. Termasuk juga akan membantu membebaskan lahan untuk pembangunan sekolah. Bantuan alat tulis, buku bacaan, seragam sekolah juga terus berdatangan ketika tahun ajaran baru ini. Kini semua murid SD Filial Semokan Ruak memiliki seragam, mereka sudah seperti anak sekolahan. (*)

Posting Komentar

0 Komentar